Ahad kemarin (6 Juni) adalah hari lahir tokoh besar Indonesia, Soekarno. Hingga kini, belum ada yang bisa menandingi sosoknya yang begitu banyak dibicarakan dunia pada masanya. Dia dikagumi dan dipuja negara-negara di tiga benua, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bahkan, di Eropa Timur pun nama Soekarno sangat populer dan harum.
Kebangkitan negara-negara Amerika Latin pada awal milenium ini menurut pengakuan para pemimpin mereka juga karena diinspirasikan oleh Soekarno: menolak kapitalisme yang mengisap habis darah negara-negara kaya sumber daya alam, tapi lemah dalam dana dan tekhnologi. Diawali Chaves dan Moralles, menyusul Presiden Paraguay Lugo mengaku penganut ajaran Soekarno.
Jelas, Soekarno pada masanya adalah tokoh yang menggetarkan dunia. Ketika banyak negara imperialis pemenang Perang Dunia II yang mensponsori berdirinya PBB masih bermimpi tentang kesepakatan Perjanjian Postdam, yaitu memperoleh kembali haknya atas tanah jajahannya, dengan lantang Soekarno berkata: ”Kami yang tidak bersuara pada masa yang lampau tidaklah tanpa suara sekarang.”
”Kami yang berdiam diri pada masa imperialisme, tidaklah berdiam diri sekarang. Kami yang berdiam diri akibat kesengsaraan karena imperialisme, tidaklah berdiam diri lagi. Perjuangan kami untuk hidup yang ditutupi jubah kolonialisme, sekarang tidak bersembunyi lagi.” Soekarno mengingatkan bahwa dunia sudah berubah sejak 1945 dan dunia berubah menuju arah perbaikan. (Pidato Soekarno di PBB itu pada 30 September 1960: To Build the World Anew).
Tetapi, di negeri sendiri sosok Soekarno ibarat asing dan terlupakan. Di bawah rezim Orde Baru yang cenderung dekat dengan negara-negara kapitalis, jati diri Soekarno dan Hatta nyaris tergerus. Nama mereka seakan hanya mendapat pengakuan saat membaca teks proklamasi. Selain itu, mereka bukanlah apa-apa, bukanlah siapa-siapa.
Generasi sekarang lebih tahu di mana kali pertama Presiden AS Barack Hussein Obama bersekolah, tetapi tidak tahu di mana sebenarnya Bung Karno dilahirkan. Sebagian besar mengatakan, Bung Karno dilahirkan di Blitar. Konyolnya, jawaban seperti itu pun diucapkan anak-anak Surabaya.
Dalam semua penulisan biografi Soekarno sebelum 1970, semua menulis Soekarno lahir di Surabaya. Akhir 1900, R Soekeni Sosrodihardjo (ayahanda Soekarno) dipindahtugaskan dari Singaraja, Bali, sebagai guru di Sekolah Rakyat Sulung, Surabaya. Istrinya, Nyoman Rai Srimben, dalam keadaan hamil muda. Di Surabaya itulah Nyoman Rai Srimben melahirkan seorang putra yang diberi nama Kusno pada 6 Juni 1901.
Buku-buku biografi itu, antara lain, Soekarno sebagi Manoesia (Im Yang Tjoe, penerbit Ravena, Solo 1933), dan Kamus Politik (AM Adinda/Usman Burhan, penerbit Ksatrya, Surabaya, 1950. Tiga terbitan ensiklopedi, yaitu Ensiklopedia Indonesia 1955, NV penerbit W. Van Hoeve, Bandung. ‘S – Gravenhage: (djilid III N-Z) halaman 1.265; Ensiklopedi Indonesia (edisi khusus, jilid 6 SHI – VAJ) terbitan PT Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta 1986; dan Ensiklopedi Nasional Indonesia (jilid 15 SF-SY) penerbit Delta Pamungkas, Jakarta, 1997, halaman 311. Tiga ensiklopedi itu menulis Soekarno kelahiran Surabaya, 1 Juni 1901.
Buku-buku Soebagijo I.N. (Pengukir Jiwa Soekarno), Solichin Salam (Bung Karno Putra sang Fajar), Nurinwa Ki S. Hendrowinoto Dkk (Ayah Bunda Bung Karno, penerbit Republika 2002), dan Nasution M.Y. (Riwayat Ringkas, Penghidupan dan Perjuangan Ir Soekarno) bahkan mencantumkan alamat tempat Bung Karno dilahirkan, yaitu di Kampung Pandean IV/40, Surabaya.
***
Media massa sekarang lebih sering menulis Soekarno kelahiran Blitar. Sayangnya, media dan TV terbesar di ibu kota berkali-kali merilis Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno. Itulah yang mungkin menjadi rujukan bagi generasi kini. Sebaliknya, para penulis asing masih tetap konsekuen dan cermat menulis Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno. Lambert Giebels untuk menulis bukunya, Soekarno, Biografi 1901-1950 melacak sampai ke lokasi Bung Karno dilahirkan.
Penulis asing umumnya yang mengutip sumber arsip di Leiden (Belanda) otentik sebagaimana tertulis dalam ijazah dan berkas perkara Bung Karno ketika diadili. Sebagian merujuk kepada Cindy Adams (Soekarno, an Autobiografi as told to Cindy Adams, edisi bahasa Inggris 1966). Bob Hering (Soekarno, Mitos dan Realitas – 1986), penulis Belanda yang dekat dengan Bung Karno, juga menulis Soekarno lahir di Surabaya.
Biografi Soekarno terbaru yang di-launching tahun lalu adalah Soekarno Politicheswkaya Biografiya (SOEKARNO, Biografi Politik), Moskwa Mysl, 1980. Prof Kapitsa M.S. & Dr Maletin N.P. , (1980), terjemahan dari bahasa Rusia, B. Soegiharto PhD penerbit Ultimus, 2009. Di halaman 9 jelas tertulis: Soekarno dilahirkan di Jawa, Surabaya, pada 6 Juni 1901.
Sedangkan Blitar adalah tempat penugasan terakhir Soekeni Sosrodihardjo ketika dipindahkan dari Mojokerto dan dipromosikan sebagai penilik sekolah pada 1917. Ketika itu, Bung Karno kos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.
Pada 1920, dibelilah rumah yang sekarang dikenal sebagai rumah orang tua Bung Karno di Blitar. Pada tahun itu, Bung Karno sudah masuk THS (Sekolah Tinggi Teknik, sekarang ITB) di Bandung dan membawa serta istrinya, Siti Oetari. Jadi, praktis Bung Karno tidak pernah tinggal di Blitar selain beberapa kali berkunjung dan sungkem kepada kedua orang tuanya di sana.
***
Yang perlu disinggung dalam proses kreativitas Soekarno bahwa pada masa kecil Bung Karno beberapa tahun mengikuti kakeknya, Hardjodikromo, di Desa Kepatihan, Tulungagung. Di sana dia berkenalan dengan dunia pewayangan. Di situ pula Bung Karno kali pertama masuk sekolah, belajar mengenal angka dan huruf, serta mengidentikkan dirinya dengan tokoh Bima, yang kemudian nama itu dipakai sebagai nama samaran dalam tulisannya.
Selain Tulungagung, Bung Karno kecil lama tinggal di Mojokerto. Di sana dia akrab dengan Wagiman dan sering tiduran di rumahnya yang lebih mirip gubuk. Wagiman pandai bercerita tentang tokoh-tokoh pewayangan. Tak bosan-bosan Soekarno mandatangi rumah Wagiman itu. Sejujurnya, dalam pergaulannya dengan Wagiman, Soekarno mulai tersentuh dengan persoalan penderitaan bangsa. Mojokerto adalah tempat awal bertumbuhnya kepedulian dan kecintaan Bung Karno kepada rakyat jelata.
Ironisnya, sebagian besar generasi muda bangsa kita hanya mengenal Blitar sebagai kota yang identik dengan Bung Karno. Bahkan, banyak generasi muda Surabaya yang tidak menyangka bahwa Soekarno adalah arek Suroboyo asli yang dengan semangat bonek-nya pantang menyerah. Dia menantang penjajah, berkali-kali ditangkap, dipenjara, dan dibuang. Tetapi, dia tetap nekat.
”Ini dadaku, mana dadamu,” kata Soekarno. Dia mengusir Amerika dengan kata-kata: Go to hell with your aid. (Kini sebaliknya kita mengemis-ngemis bantuan Amerika). Bahkan, dunia pun ditantangnya, dunia yang tidak adil kepada bangsa-bangsa tertindas.
Dengan gaya arek Suroboyo pulalah, Bung Karno membandingkan kemerdekaan dengan keberanian kawin sang Marhaen: ”Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja, dengan satu tikar, dengan satu periuk: kawin”. Serupa itu pula keberanian untuk merdeka, merdeka dengan semangat bonek, tentu saja! (*)
www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=138134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar