OptionsDisable Get Free Shots
Kajian Timur Tengah
BerandaDaftar JudulHak CiptaTentang PenulisJuni 5, 2010 Mengapa Harus Bela Palestina Sementara Banyak Orang Susah di Sini?
Mengapa kita harus repot-repot membela Palestina nun jauh di sana? Bukankah di negeri ini begitu banyak kesengsaraan? Lihatlah berita televisi, melulu tentang Gaza. Kasus Sri Mulyani dan Bank Dunia terlupakan, Century lewat, Lapindo lewat (lihatlah TVOne, milik Ical, sangat gencar memberitakan tentang Gaza, sampai-sampai kita lupa pada saudara-saudara kita di Sidoarjo sedemikian sengsara akibat lumpur Lapindo).
Menjawab kegundahan ini, saya pikir, kita orang Indonesia harus think globally, act globally plus locally. Pembelaan terhadap Palestina, pada hakikatnya adalah sikap melawan tirani dunia dan menjadi pemisah mana negara budak, mana negara merdeka. Negara-negara yang tidak takut kepada AS akan maju secara aktif membela Palestina. Sebaliknya, Indonesia, yang jelas-jelas tunduk dan patuh pada IMF dan Bank Dunia, dan sangat pro AS, terlihat tak berani melakukan langkah konkrit (selain menyeru dan mengutuk). Secara sinergi, kepatuhan pada tiran-tiran dunia itu juga terimplementasikan pada kebijakan-kebijakan dalam negeri.
Pembangunan ekonomi yang berbasis hutang (bahkan baru-baru ini SBY menandatangani perjanjian hutang 800 juta dollar untuk menangani perubahan iklim! Gila utang 1600T aja entah kapan lunasnya, masih nambah lagi!) adalah contoh konkrit betapa Indonesia sudah diperbudak oleh kekuatan-kekuatan tiran. Inilah yang dimaksud oleh Yudi Latif saat dia komentar di tivi, “Sri Mulyani adalah seorang yang cerdas dan profesional, tapi dia secara sadar berada dalam posisi sebagai pelaksana kepentingan asing.” (ini bukan benci SMI ya, tapi, kebetulan krn menkeunya dulu SMI, terpaksa saya kutip lagi. Kalau nanti Agus Marto juga terbukti sebagai pelaksana kepentingan asing, tentu saja akan nulis juga soal Agus Marto). Para pejabat negeri ini, kebanyakan adalah pelaksana kepentingan asing karena kenyataannya, sebagian besar sumber-sumber ekonomi negeri ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing; bahkan uang untuk membiayai roda pemerintahan negeri ini pun sumbernya hutang dari asing.
Dan Rezim Zionis masih berdiri hingga hari ini dengan ditopang oleh suplai dana yang sangat-sangat besar dari perusahaan-perusahaan asing itu; yang mengeruk uang dari negara-negara miskin dan berkembang (termasuk Indonesia). Sudah banyak diketahui umum bahwa perusahaan-perusahaan terkemuka di AS—negara pendukung utama Rezim Zionis—dimiliki oleh para pengusaha Zionis. Mereka melebarkan bisnis ke berbagai penjuru dunia dan dengan cara-cara yang curang, mengeruk uang dari negara-negara berkembang. John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man menceritakan modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang:
Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.
Keuntungan besar yang mereka peroleh itu, ujung-ujungnya, digunakan untuk menopang kelangsungan hidup Rezim Zionis. Sejak tahun 1973, AS telah mengirimkan bantuan keuangan untuk Israel senilai lebih dari 1,6 trilyun dollar! (dan dari sudut ini, rakyat jelata AS pun sebenarnya terjajah: uang pajak mereka yang harusnya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan justru disumbangkan secara rutin ke Israel).
Ketika orientasi pemerintah bukan pada rakyat, tetapi pada kekuatan tiran (perusahaan transnasional, IMF, Bank Dunia, dll), tak heran bila sedemikian banyak kesengsaraan ada di negeri ini. Maka, yang harus dilawan pertama-tama adalah kekuatan tiran itu. Inilah yang diingatkan oleh Imam Khomeini lebih dari 20 tahun lalu: Israel itu bagai tumor ganas dalam ‘tubuh’ dunia. ‘Penyehatan’ dunia hanya bisa dilakukan dengan mencerabut pangkal masalahnya.
Jadi, tak perlu kita pertentangkan pembelaan kepada Palestina dengan membantu saudara-saudara kita di Lapindo. Justru keduanya harus sama-sama kita perjuangkan. Dan media, seharusnya konsisten dalam hal ini, berita yang mengawal Century dan Lapindo tetap gencar; begitu pula berita Gaza. Jangan jadikan Gaza sekedar alat untuk mengalihkan perhatian publik dari kebobrokan pemerintah negeri ini.
1 Komentar
Filed under Indonesia, Indonesia-Israel, Palestina
Juni 4, 2010 Irlandia, Rachel Corrie, dan Gaza
Irlandia
Banyak yang menolak membela Palestina karena alasan agama (Palestina dianggap sebagai perjuangan kaum muslim, sehingga orang-orang beragama lain tak merasa perlu ikut-ikutan); bahkan sebagian kaum muslim pun menolak membela Palestina dengan alasan perjuangan Palestina adalah perjuangan orang2 fundamentalis, Arab, dan dikaitkan dengan terorisme.
Tapi pembantaian di atas kapal Mavi Marmara membuktikan kepada dunia, bahwa masalah Palestina bukanlah masalah kaum muslim belaka, melainkan masalah umat manusia; masalah kemanusiaan, masalah HAM, masalah nurani, masalah kejahatan perang yang telah 60 tahun lebih dibiarkan terjadi oleh komunitas internasional…
Irlandia, adalah sebuah negara berpenduduk mayoritas Katolik Roma. Pada 14 Mei 2010, dari pelabuhan Irlandia, sebuah kapal berisi bantuan kemanusiaan memulai perjalanan panjang menuju Gaza. Kapal itu diberi nama “Rachel Corrie”. Sebagian penumpang kapal adalah para aktivis bule, seperti Mairead Corrigan-Maguire (seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Irlandia Utara), Dennis Halliday (mantan diplomat senior PBB asal Irlandia). Bahkan Perdana Menteri Irlandia Brian Cowen menyebut “MV Rachel Corrie sebagai kapal milik Irlandia dan kapal itu patut diizinkan untuk merampungkan misinya.”
Kegagalan enam kapal misi kemanusiaan mancanegara mencapai Gaza akibat serangan brutal Israel hari Senin (31/5) tidak menyurutkan semangat para aktivis. Mereka berjanji untuk kembali mencoba menembus blokade Israel terhadap Gaza .
Pembelaan Irlandia kepada Palestina tidak terjadi sekarang-sekarang saja. Sejak lama mereka aktif menyuarakan pembelaan itu. Misalnya, Juni 2009, beberapa politikus Irlandia mengirim petisi agar Eircom selaku perusahaan telkom nasional negeri itu menolak proposal yang diajukan konsorsium pimpinan IBM, lantaran konsorsium tersebut membawa serta Amdocs untuk menangani billing system. “Konsorsium yang menggandeng Amdocs kami persilakan mundur dari kontrak dengan Eircom. Sebab perusahaan itu penyokong kebijakan pertahanan Israel, yang membunuh 1.400 orang Palestina dalam invasinya ke Jalur Gaza,” ungkap Kevin Squire, juru bicara Kampanye Solidaritas Palestina-Irlandia (IPSC) dan Gerakan Anti-Perang Irlandia. (Lengkapnya baca di sini.)
Tapi kita yang mayoritas muslim -dengan Menkominfo dari partai Islam-malah menerima saja Amdocs beroperasi di Indonesia (selengkapnya baca di sini)
Rachel Corrie
Kapal Irlandia bernama MV Rachel Corrie itu seolah menyalakan lagi semangat seorang perempuan muda yang gugur di Rafah tujuh tahun silam, bernama Rachel Corrie. Saat itu, Rachel baru berusia 23 tahun. Ia terlahir sebagai seorang Kristiani. Sejak kecil dia sangat peduli kepada kemanusiaan. Ketika besar, dia bergabung dalam International Solidarity Movement (ISM) yang berjuang dalam aksi damai untuk menghentikan penjajahan Israel terhadap Palestina. Suatu hari di tanggal 16 Maret 2003, Rachel berusaha menghalang-halangi sebuah buldozer yang akan menghancurkan sebuah rumah milik warga Palestina. Tentara Israel pengendali buldozer itu tak peduli, dan terus merangsek. Tubuh Rachel hancur..
“Rachel Corrie yang ada di surga, selalu kembalilah namamu. Semoga selalu kembalilah ingatan kepada seseorang yang bersedia mati untuk orang lain pada usia 23 tahun, seseorang yang memang kemudian terbunuh, seakan-akan siap diabaikan di satu Ahad yang telah terbiasa dengan kematian.” [Goenawan Mohamad, pengantar di buku Let Me Stand Alone].
Dan kapal MV Rachel Corrie seolah sedang menjawab ‘doa’ Goenawan.. Rachel seolah sedang kembali dari surga dan melanjutkan lagi perjuangannya…
Inilah rekaman video saat Rachel usia 10 tahun, menyuarakan kepeduliannya kepada kemanusiaan…
dari Dina Sulaiman Blogs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar