Arah teoritis pembangunan hingga akhir dekade enam puluhan, berputar pada poros economic paradigm, sebagai jantung yang memompa urat nadinya. Pembangunan, diukur dengan meteran ekonomi. Kemajuan pembangunan sebuah negara, seringkali ditakar berdasarkan suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita, dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonominya. Maka, tidak heran ketika terma pembangunan mengalami peralihan makna menjadi economic development. Karena, inilah yang dianggap tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut.
Dalam skala global, arus ini melahirkan paradoks. Ide pembangunan kontemporer yang menyakini globalisasi sebagai darah yang selalu dialirkan, dipercaya mampu memberikan efek positif yang menguntungkan. Dalam dataran praktis, ternyata hal tersebut tidak selalu demikian. Arus ini, menciptakan kemakmuran bagi negara-negara maju, namun menimpakan derita pada negara-negara berkembang dan terbelakang. Inilah “kemakmuran yang mencemaskan”, sebagai anak kandung pembangunan.
Krisis finansial yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan bukti ril ekses negatif pembangunan dengan corak demikian. Globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai, tidak selalu diikuti pemerataan dan keadilan sosial. Bahkan, sebagaimana dikemukakan Mubyarto dan Daniel W. Bromley dalam karyanya, A Development Alternative for Indonesia (2002), menyebutkan setidaknya pada kasus Indonesia, terdapat dua problem serius. Pertama, model ini sangat rentan terhadap kondisi eksternal, serta volatilitas pasar finansial dan komoditas. Kedua, kemajuan ekonomi yang telah dicapai ternyata sangat tidak merata, baik antar daerah maupun antar kelompok sosial ekonomi. Para pakar mengajukan kritik yang hampir senada, antara lain: Joseph Schumpeter, Daniel Bell, Irving Kristol, Gunnar Myrdal, Paul Omerod, Umar Ibrahim Vadillo, Critovan Buarque, dan Joseph Stigliz.
Sejak permulaan dekade tujuh puluhan, jarum pemikiran mulai diputar dari arah yang berlawanan. Pandangan dunia (word view) dan nilai (value) yang selama ini kurang mendapatkan perhatian, bahkan relatif dinegasikan perannya dalam pembangunan, kembali menjadi sorotan. Schumpeter dalam magnum opusnya, History of Economic Analysis (1959: 79-106) menyodorkan kontribusi early Christian Thought terhadap ilmu ekonomi.
Adanya kontribusi pemikiran keagamaan terhadap pengetahuan, semakin menguatkan dugaan tentang peran nilai dan pandangan dunia dalam perkembangan pengetahuan. Kini, studi tentang pemikiran sosok agamawan yang concern terhadap problematika sosial dan perkembangan pengetahuan semakin marak dikaji, diantaranya Imam Khomaini.
Maestro revolusi yang juga seorang mullah ini, merupakan icon of change yang menarik banyak peneliti. Betapa tidak, beberapa pandangannya dalam politik seperti wilayah al-Faqih, menjadi basis yang kuat dalam sistem ketatanegaraan Iran. Namun hingga kini, terutama di Tanah Air sendiri, kajian terhadap pandangannya tentang pembangunan tidak begitu nyaring terdengar. Tulisan ini, berupaya memperkenalkan gagasan pembangunan dalam pandangan Imam Khomaini, sebagai alternatif dari kebuntuan teori pembangunan yang selama ini berkiblat kepada Barat. Tentu saja dengan segala keterbatasan yang ada, tulisan ini terbuka untuk dikaji lebih ekstensif ke depan.
Dalam kajian ini, pandangan imam khomaini tentang pembangunan didekati melalui qualitative approach dengan metode content analysis. Melalui metode tersebut, berbagai teks dalam shahifah nur yang relevan dengan terma pembangunan, dianalisis dan diberi interpretasi. Tentu saja, dengan menjaga tiga syarat seperti yang disarankan Lindzey dan Aronson (1982) yang dikemukakan kembali oleh Noeng Muhadjir (2000:68-71), yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi.[1]
Melacak Jejak Filosofis Pembangunan
Konsepsi pembangunan tidak bisa dilepaskan dari basis filosofisnya. Prinsip pembangunan model klasik, neo klasik dan welfare state yang dijadikan pijakan hingga saat ini, masih berdiri di atas kaki Jeremy Bentham (1748-1832), founded the doctrine of utilitarianism.
Menurut Bentham, nilai manusia ditimbang berdasarkan kebahagiaan yang diperolehnya. Sebuah tindakan seseorang dikatakan baik, jika mampu meningkatkan kepuasan bagi dirinya. Namun jika tidak, maka harus ditinggalkan. Berdasarkan pandangan ini, kepuasaan berbanding lurus dengan utilitas yang diperolehnya. Seraya melantunkan alunan merdu Bentham, ”the greatest happiness of the greatest number.”[2] Pasca bentham, menyusul John Austin, James Mill, John Stuart Mill, Henry Sidgwick, Herbert Spencer dan Sir Leslie Stephen mengamini sang guru.
Pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Pandangan ini, menempatkan ekonomi sebagai tujuan final. Maka, pembangunan ekonomi dijadikan acuan bagi seluruh bidang lainnya.
Melampaui pandangan utilitarianisme, manusia menurut Imam Khomaini adalah makhluk yang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, sebagai materi yang memiliki karakter hewani. Sedangkan di lain sisi, merupakan dimensi non materi, spiritual, rasional dan ilahi. Kedua dimensi ini bergradasi; bisa terus tumbuh dan berkembang atau mengalami penurunan.
Pembangunan dalam kacamatanya, tidak hanya berorientasi material saja. Sebagaimana kemajuan Barat yang hanya berkutat pada dimensi material saja, namun berbanding terbalik dengan kondisi spiritualnya.[3] Padahal, menurut beliau, kesempurnaan sejati manusia tumbuh dan berkembang dari aspek material dan spiritual. Lalu, bagaimana kedudukan kedua dimensi tersebut. Setarakah keduanya, ataukah salah satu lebih utama dari yang lain?
Nampaknya, Imam Khomaini melontarkan kemendasaran sublimasi spiritual dibandingkan dimensi material. Karena, sublimasi spiritual merupakan tujuan langsung dari aktivitas material manusia.[4] Dimensi inilah yang mengarahkan manusia dalam setiap perilakunya menuju kesempurnaan. Untuk tujuan tersebut, Islam menyampaikan program terpadu yang mendorong, mengatur dan mengarahkan perilaku manusia berupa rangkaian keyakinan dan nilai. Berbagai ketentuan fiqh, secara mendetail mengatur perilaku manusia menjadi lebih tertib, sistematis dan terarah. Secara khusus, Imam Khomaini menulis Tahrir al-Wasilah, sebagai pedoman fikh praktis.[5] Karena, menurut keyakinannya sendiri, Islam hadir untuk mendorong manusia ke arah kemajuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sektor lainnya.[6] Kiranya, tidak bisa dipungkiri peran pandangan dunia dan nilai terhadap pembangunan.
Berangkat dari sinilah, jejak filosofis pembangunan dalam pandangan Imam Khomaini dilacak. Pembangunan adalah proses menuju kesempurnaan manusia dalam dimensi material dan spiritualnya, dengan mendahulukan sisi spiritual dari pada aspek material. Karena tujuan pertumbuhan dan perkembangan material adalah kesempurnaan spiritual masyarakat, maka ekonomi menjadi sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu terbangunnya masyarakat yang berbudaya Islam. [7]
Dalam berbagai pandangannya, ia mengemukakan basis utama pembangunan, yaitu: kemandirian dan keadilan sosial.
Kemandirian
Menurut Imam Khomaini, salah satu prinsip yang harus dipegang erat sebuah bangsa dalam mencapai kemajuan pembangunan adalah kemandirian di berbagai bidang.
Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menegaskan urgensi kemandirian intelektual. Karena tanpa hal tersebut, sebuah bangsa akan terus bergantung kepada pihak lain. Tanpa kemandirian intelektual, sebuah bangsa tidak akan bisa sejajar dengan bangsa lainnya. Dikatakannya,
Ketika kita bergantung dalam bidang ekonomi, budaya, dan sektor-sektor lainnya, disebabkan ketergantungan intelektual. Mengapa intelektual kita tidak mampu mandiri. Padahal, kita memiliki budaya bangsa sendiri dan khazanah kebudayaan yang kaya.[8]
Di bagian lain, ia mengatakan bahwa tanpa kemandirian intelektual, identitas sebuah bangsa akan lenyap dengan sendirinya. Bahkan menurut beliau, sebuah bangsa tidak akan merdeka, jika kemandirian intelektual ini tidak disadari dan diperjuangkan. Sebelum kemenangan Revolusi Islam, Imam Khomaini menyampaikan,
Tidak ada satu negara pun yang merdeka, tanpa jerih payah bangsanya sendiri. Selama bangsa itu tidak memperjuangkannya, maka tidak akan pernah dicapai kemerdekaan. Sangat disayangkan, di negeri ini kita melupakan hukum, peradilan dan budaya Islam dengan mengekor Barat. Ketergantungan intelektual kita terhadap Barat, sumber dari segala kehancuran berbagai bangsa, sebagaimana menimpa bangsa ini.[9]
Untuk melenyapkan virus ketergantungan ini, Imam Khomaini melakukan islamisasi terhadap berbagai pusat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ia menyampaikan dalam sebuah ceramahnya,
Perguruan tinggi kita, harus keluar dari segala ketergantungan sehingga bisa mandiri. Kita mengharapkan perguruan tinggi yang mampu menyelamatkan bangsa dari ketergantungan intelektual, yang lebih dahulu dan lebih berbahaya dari seluruh ketergantungan. [10]
Pada ceramahnya yang lain, beliau mengemukakan bahwa kemandirian tidak akan terwujud, jika pusat-pusat pendidikan dan riset tidak menghasilkan para cendikia dengan berbagai karyanya yang membawa harum nama bangsa. [11] Beliau juga mengatakan,
Kerja keraslah di jalan ilmu pengetahuan, hingga menjadi ahli di berbagai bidang masing-masing. Inilah, pondasi aktivitas para pemuda mahasiswa kita yang tercinta. Dengan itu, semua kebutuhan bangsa bisa terpenuhi, dan negeri ini menjadi mandiri.[12]
Dalam bidang ekonomi, Imam Khomaini menempatkan kemandirian ekonomi sebagai salah satu tujuan penting sistem ekonomi Islam. Ia menyerukan berbagai penolakan terhadap segala bentuk ketergantungan pada pihak asing.[13] Menurutnya, Setelah ketergantungan intelektual, ekonomi merupakan sumber segala ketergantungan budaya, politik dan sosial[14]. Bahkan ditegakannya, tanpa upaya mencapai kemandirian ekonomi, tidak bisa mencapai kemandirian di area lain.[15]
Untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan pembangunan yang berkesinambungan, beliau menyampaikan beberapa prinsip krusial antara lain :
1. Pada seluruh lini harus mandiri, tidak boleh bergantung pada pihak lain[16]
2. Memacu berbagai langkah dalam pembangunan dan pengembangan berbagai pusat ilmu pengetahuan dan riset, untuk mendorong lahirnya para ahli di segala bidang dengan berbagai karyanya yang gemilang.[17]
3. Melakukan efisiensi penggunaan sumber daya alam tepat guna, sebagai bekal generasi mendatang[18]
4. Mendorong seluruh partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, diantaranya memompa investasi masyarakat untuk meminimalisasi investasi asing. [19]
5. Melindungi produksi dalam negeri[20]
6. Mendukung produksi dalam negeri sebagai upaya mencukupi kebutuhan masyarakat[21]
Keadilan Sosial
Keadilan sosial dalam berbagai bidang merupakan salah satu tujuan dari sistem Islam dan diutusnya para nabi[22]. Karena, terwujudnya keadilan sebagai sarana manusia menuju marifatunafs dan marifatullah, mengenal diri dan mengenal Tuhan.
Salah satu penerapan keadilan sosial adalah keseimbangan harta di tengah masyarakat. Imam Khomaini, meyakini bahwa Islam menghendaki keseimbangan bukan mencegah modal maupun merampasnya, sehingga harta tidak berada di antara segelintir orang.[23] Program Islam jika dijalankan dengan benar, meminimalisasi perbedaan pendapatan di antara masyarakat[24] Jika di masyarakat Islam terdapat gap kelas yang begitu mencolok, maka yang ada hanya tampilan bungkus Islam saja tanpa isinya[25] Namun, maksud dari keseimbangan harta tidak berarati mendudukkan sama rata harta-harta tersebut, karena pandangan seperti ini tidak dibenarkan dalam Islam[26]
Dalam pandangan imam khomaini, Islam melindungi orang-orang fakir dan miskin, serta menghimbau untuk memenuhi kebutuhan mereka.[27] Oleh karena itu, pemerintah dengan segala kekuasaannya harus mengayomi mereka[28]. Di samping itu, partisipasi masyarakat memainkan peranan penting. Menurut beliau, pengentasan kemiskinan bermakna terwujudnya kesejahteraan masyarakat.[29]
Kesimpulan
Sejauh observasi penulis dalam kajian ini, ditarik beberapa kesimpulan tentang konsep pembangunan dalam perpektif Imam Khomaini, sebagai berikut :
Pertama, manusia dalam pandangan Imam Khomaini, adalah makhluk yang memiliki dimensi jasmani dan spiritual. Berdasarkan pondasi filosofis ini, pembangunan tidak hanya berorientasi pada material saja. Sebagaimana diadopsi oleh model pembangunan ala utilitarianisme.
Kedua, pembangunan didefinisikan sebagai proses menuju kesempurnaan manusia dalam dimensi material dan spiritualnya, dengan mendahulukan sisi spiritual dari pada aspek material.
Ketiga, Imam Khomaini menawarkan basis pembangunan yang terdiri dari: kemandirian dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan keduanya, diperlukan kerjasama yang erat antara peran pemerintah dan partisipasi masyarakat.
Daftar Pustaka
Azyini, Muhsin, Andisheha-ye Iqtishady Imam Khomeini.ra, Teheran: Sazman Madarik Farhanggi Inqilabi Islami, 1374 Hs.
Copleston, Frederick, A History of Philosophy: Utilitarianism to Early Analytic Philosophy Vol 8 London: Continuum, 2003
Daftar Hamkari Hauzah va Danesghah, Mabani Iqtishady Islami, Tehran: Semat,1381.
Isykadzari, Muhammad Jamal Khalilian, Farhang Islami va Tause’eh Iqtishady, Qom: Markaz Intisharat Muasasah Amozeh va Pazuhesh Imam Khomaini, 1381 Hs.
Khomaini, Imam. Shahifah Nur, Tehran: Markaz Madarik Farhanggi Inqilab Islami, 1361 Hs.
Muhadjir, Noeng Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rakesarasin, 2000
Said, Farahani Fard (ed.), Naqs Daulat dar Iqtishad, Qom: Pazyuheshgah farhang va Andisyeh Islami,1381 Hs.
_____________________, Mabani Nizham Iqtishady Islami az Didgah Imam Khamaini.ra, Jurnal Iqtishad Islami, No 2/II/Musim semi/1381 Hs.
Nahad Namayandegi Makam Muazham Rahbari Dar Daneshgah Syahid Behesti, Islam va Tausi’eh, Teheran: Pazuheshgah Farhang va Muarif, 1382 Hs.
Rosen, Frederick, Classical Utilitarianism From Hume to Mill, London: Routledge, 2003
Schumpeter, Joseph A. History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press, 1959.
Shirazi, Abdul Karim Biazar, Risalah Nuvin: Terjamah Masa’il Iqtishady “Tahrir wasilah” Imam Khamaini. Ra. Daftar Nasyir farhanggi Islami: Tehran, tt.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Muhadjir, Noeng Metodologi Penelitian Kualitatif (2000) hal. 68-71
[2] Lebih jauh Lihat Frederick Rosen, Classical utilitarianism Form Hume To Mill (2003) pp. 48-129, 220-208. Copleston, Frederick, A History of Philosophy: Utilitarianism to Early Analytic Philosophy Vol 8 (2003).
[3] Shahifah Nur jilid 7 hal.80
[4] Ibid jilid 9 hal. 167.
[5] Buku ini disusun kembali secara tematis dan lebih sistematis oleh Shirazi, Abdul Karim Biazar. Risalah Nuvin: Terjamah tahrir al-Wasilah. Pembahasan tentang ekonomi berjudul Risalah Nuvin: Terjamah Masa’il Iqtishady.
[6] Ibid jilid 2 hal. 203.
[7] Ibid jilid 7 hal. 72.
[8] Ibid jilid 9 hal.167
[9] Ibid jilid 11 hal.186
[10] Ibid jilid 14 hal 233, 235
[11] Ibid jilid 21 hal.38
[12] Ibid jilid 14 hal.186
[13] Ibid jilid 17 hal.218, jilid 9 hal.166
[14] Ibid jilid 10 hal.40, jilid 11 hal. 116.
[15] Ibid jilid 10 hal.105
[16] Ibid jilid 2 hal.44
[17] Ibid jilid10 hal.105
[18] Nahad Namayandegi Makam Muazham Rahbari Dar Daneshgah Syahid Behesti, Islam va Tausi’eh,1382, hal.241
[19] Ibid jilid 6 hal.96, jilid 2 hal. 126
[20] Ibid jilid 1 hal. 213, 154
[21] Ibid jilid 21 hal.38
[22] Ibid jilid 8 hal. 15, 18, 146.
[23] Ibid jilid 8 hal. 36.
[24] Ibid jilid 3 hal. 158.
[25] Ibid jilid 7 hal. 39.
[26] Ibid jilid 11 hal. 100-103.
[27] Ibid jilid 20 hal.129, jilid 13 hal. 73, jilid 10 hal.41, jilid 6 hal. 234.
[28] Ibid jilid 18 hal.130.
[29] Ibid jilid 20 hal.121, jilid 6 hal. 234
sumber:http://purkonhidayat.multiply.com/journal