Thailand dalam mempromotori usulan pengajuan standar halal ke ISO tersebut, menurut Arief, patut diacungi jempol. Pasalnya, Thailand bukan merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim. Thailand dalam hal ini mencoba menangkap pasar halal yang besar.
Adang menambahkan, "Memang agak aneh kok Thailand masuk juga. Tapi dia pintar menangkap peluang. Dia lihat ini peluang besar. Kita harusnya bisa mencontoh dia. Orang-orang ahli halal yang kerja di sana dan Malaysia itu orang Indonesia. Mereka yang bikin lisensinya".
Dalam perdagangan, ia menegaskan, setiap langkah sertifikasi dan penetapan suatu standar wajib mengajukan notifikasi kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Jika dalam 60 hari kerja tidak ada keberatan dari negara anggota WTO, standar tersebut dinyatakan bebas diberlakukan. Sebelumnya, ia mengungkapkan, ada kejadian tanpa koordinasi yang dilakukan oleh LPPOM MUI yang menetapkan aturan mengenai sertifikasi lembaga sertifikasi standar halal di luar negeri, dan mencabut beberapa aturan yang telah ditetapkan lembaga sertifikasi halal di luar negeri tersebut.
Selain itu, lanjut dia, penerapan aturan standar harus terbuka, transparan, dan bisa diakses oleh semua pihak. Audit tidak bisa dilakukan secara mendadak dan tiba-tiba sehingga menyulitkan bagi pemilik usaha.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komite Tetap bidang Kerjasama Regional Franky Sibarani mengatakan, penerapan halal sebagai sistem ISO tidak mudah dilakukan. Dia menjelaskan, "Halal dan ISO itu dua hal yang berbeda. ISO dengan pemenuhan sistem standarisasi dan dokumentasi harus baik. Halal harus sesuai dengan aspek ketentuan agama. Selain itu, dengan menjadikan halal sebagai ISO justru menyulitkan industri di dalam negeri".
Sementara itu, menghadapi peluang produk halal di dunia, Indonesia ditargetkan menjadi The World Halal Center mengingat posisinya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun demikian, dalam mencapai target tersebut, Malaysia merupakan rival yang tidak bisa diremehkan.
Pasalnya, negara tersebut mampu menangkap potensi produk halal dengan baik. Indonesia jauh tertinggal.
Ketua Komite Tetap Optimalisasi Potensi Sumber Daya Alam Timur Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rifda Ammarina mengatakan meskipun jumlah penduduk muslim Malaysia kurang dari 10% dari Indonesia, namun Malaysia sangat gencar menarik wisatawan muslim dunia dengan berbagai program dan forum halalnya. Bahkan Malaysia sudah menjadi negara tujuan utama kunjungan wisatawan Timur Tengah ke Asia.
Rifda menjelaskan, produk makanan halal Malaysia memposisikan dirinya dengan baik di pasar dunia. Produk Indonesia masih banyak yang belum bersertifikasi halal. Malaysia telah membuka pusat makanan halal di Xian China. Malaysia juga berhasil mendirikan Halmart Inc Sdn Berhad dan telah membuka outlet di Prancis pada 2007 dan di Inggris pada 2010 dengan target 300 outlet di seluruh dunia.
Untuk mensosialisasikan pentingnya sertifikasi halal tersebut, Indonesia akan menyelenggarakan Indonesia International Halal Business & Food Expo (IHBF) pada 23-25 Juli 2010 di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta. Rencananya sebanyak 60 lembaga halal dunia akan ikut serta dalam acara tersebut.
Target PLN Atasi Krisis Tak Tercapai
PT Perusahaan Listrik Negara kesulitan mengatasi berbagai persoalan kelistrikan di kawasan Indonesia bagian timur. Target tidak ada lagi pemadaman listrik bergilir pada akhir Juni nanti terancam tidak tercapai. Krisis kelistrikan itu bahkan terjadi di dua ibu kota provinsi, yaitu Palu dan Mataram. Karena prihatin atas kondisi kelistrikan di dua ibu kota provinsi itu, Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan menangis dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR, Selasa (18/5) di Jakarta.
Sebagaimana dibeberkan harian Kompas, dengan tetesan air mata Dahlan menyatakan, "Ini berat karena Palu itu tidak memiliki panas bumi, air tidak punya, angin tidak punya. Satu-satunya yang ada hanya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), itu pun terkendala dan tidak selesai-selesai".
Operasional PLTU milik swasta di daerah itu tersendat karena PLN membeli listrik terlalu murah sehingga pengembang tidak bisa membeli batu bara untuk bahan bakar pembangkit itu. Dia menjelaskan, "Kami mengambil cara berisiko. Dasar pemikiran kami, kenapa kita mau membayar listrik dari pembangkit listrik milik asing Rp 800 per kWh, tetapi tidak mau membeli dari swasta lokal Rp 700 per kWh".
Selama ini, PLN kesulitan menaikkan harga listrik karena aturan pemerintah melarang pembelian listrik swasta melebihi Rp 500 per kWh. Kini aturan itu dicabut. Untuk itu, PLN segera memperbaiki perjanjian pembelian listrik dari PLTU 2 x 15 megawatt itu dengan menaikkan harga beli listrik dari Rp 500 per kWh menjadi Rp 750 per kWh.
Dahlan mengaku sudah memerintahkan jajarannya menandatangani pembelian listrik dari pengembang listrik swasta lokal. Namun, bawahannya tidak bersedia menandatangani pembelian itu karena takut masuk penjara. Dia menambahkan, "Saya katakan, biar saja saya yang masuk penjara. Masak pada tahun 2010 masih ada ibu kota provinsi yang belum berlistrik. Jadi, kami akan menyelesaikan dengan cara berisiko".
Adapun di Mataram, pembangkit listrik milik swasta berkapasitas 20 MW di daerah itu disita karena kredit macet sehingga tidak bisa membangkitkan listrik. Dahlan menandaskan, "Kami negosiasi ke bank agar pembangkit boleh dijalankan meski status sita. Solusi lain, menunggu pembangkit yang sedang dalam perjalanan. Jangka panjang, perlu membangun pembangkit baru".
Komisi VII DPR mendukung pimpinan PLN dalam melakukan terobosan untuk mengatasi krisis kelistrikan di Indonesia. Dalam rapat itu, Komisi VII DPR meminta PT PLN membuat standar perjanjian pembelian listrik panas bumi agar menjadi acuan penentuan harga listrik.
Kementerian ESDM diminta membuat surat penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi hasil lelang wilayah kerja panas bumi yang dilakukan pemda.
Dengan surat penugasan itu, PLN tidak perlu bernegosiasi dengan pemenang lelang WKP mengenai harga jual listrik dari panas bumi. Dahlan menyatakan, "Kebijakan penetapan harga uap panas bumi diperlukan dengan mempertimbangkan pembagian risiko yang adil dan seimbang antara PLN dan pengembang".
irib indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar