Pada saat ini kita masih sering melihat sistem pembelaran yang masih konvensional. Ketika guru mengajar di kelas selalu menempatkan diri sebagai pusat perhatian siswa. Disamping itu adanya kesan bahwa kegiatan mengajar hanya sebagai alat untuk mengejar target kurikulum saja dan untuk mendapatkan nilai akademik siswa. Sementara itu anak menguasai materi atau tidak guru cenderung masah bodoh.
.
Pengajaran seringkali dilakukan guru hanya dengan menerangkan sambil membaca buku atau menulis di papan tulis, mendikte, mencongak, menanyakan soal kepada anak, dan memberikan ulangan harian sekalipun anak belum paham materi yang akan dites. Komposisi murid dalam kelas pun tak diperhatikan. Satu kelas bisa dijejali 30 sampai 50 murid yang duduk berbaris dari depan ke belakang tanpa memperhitungkan bahwa dengan begitu interaksi guru dan anak didik tidak akan merata. Anak didik sekadar menjadi obyek di hadapan guru, dan sebagai akibatnya anak jadi bersikap pasif. Dan anak yang didik dengan target seperti itu, tak akan mendapat gambaran mengenai kondisi kehidupan di masyarakat yang sebenarnya. Padahal, sejak masuk TK hingga lulus SMA, anak telah menghabiskan kurang lebih 15 ribu jam selama hidupnya, tapi dia tidak siap saat terjun ke masyarakat. Dalam pendidikan konvensional tidak diajarkan nilai-nilai yang bisa dipegang dan dianut, sehingga pada diri anak didik tidak terbentuk karakter yang baik. Selain itu anak didik juga tidak dibekali metode pemecahan masalah. Karena itu janganlah heran jika sekarang ini sering kita menemukan sarjana yang belum siap memasuki dunia kerja. (Nakita, 2004 : 20-21).
Dalam Standar Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa, standar proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaksi, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Peraturan Pemerintah Nomor 19, 2005 : Bab IV Pasal 19 ayat 1 ).
Melihat kenyataan diatas perlu kiranya kita mencari solusi pemecahan yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas. Pertanyaannya sistem pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Metode pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif yang terbaik untuk anak didik kita?
Pada makalah ini penulis mencoba menerapkan sistem quantum teaching sebagai metode pembelajaran alternatif yang diharapkan bisa diterima oleh siswa sekaligus bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
Konsep Pendidikan Nonkonvensional
Berangkat dari banyaknya kekurangan sistem pendidikan konvensional, kini para pakar pendidikan dan berbagai kalangan yang tertarik dalam bidang ini mulai mensosialisasikan metode/sistem pendidikan alternatif yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan konvensional. Konsep pendidikan nonkonvensional menerapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Guru sebagai fasilitator, observer dan desainer.
Guru menempatkan diri sebagai fasilitator ditengah-tengah anak didik yang diperbolehkan aktif mengemukakan pendapat. Dengan demikian, anak didik dapat menikmati pembelajarannya.
Guru juga bertuga s sebagai observer dan desainer. Dalam berbicara, guru selalu menggunakan kata �maaf, tolong, permisi, terima kasih�. Contoh, �Maaf, Haris, kalau kamu dipukul rasanya bagaimana? Sakit, kan? Nah, begitu juga teman kamu yang kamu pukul itu. Sekarang kamu harusnya bagaimana?�
Gurupun sangat menjaga kedekatan hubungan dengan anak-anak didiknya. Oleh karena itu guru harus sering berdiskusi dan berinteraksi dengan anak, sekalipun bukan mengenai pelajaran dan di luar jam pelajaran.
2. Pengajaran.
Menggunakan metode Active learning. Anak didik dibiasakan untuk mau berdialog, berbagi, dan berani mengungkapkan pendapat ataupun penemuannya, baik pada guru ataupun temannya. Sehingga mereka bisa memecahkan sebuah kasus atau permasalahan bersama-sama.
3. Memperhatikan Keunikan/kebutuhan anak didik.
Contoh, sebelum pelajaran dimulai diadakan dulu penawaran mata pelajaran kepaa anak-anak. Jika dalam satu hari terdapat 4 mata pelajaran, maka mereka bebas memilih pelajaran mana yang ingin dibahas dulu. Anak-anak yang mempunyai pilihan sama akan dikumpulkan dalam satu kelompok, sehingga semua anak pada hari itu bisa mempelajari semua mata pelajaran yang dijadwalkan.
Dari itu kita bisa melihat, bahwa sistem pendidikan alternatif sama sekali tidak memaksakan anak. Dengan begitu mereka belajar berdasarkan keinginan atau minatnya saat itu. Hasilnya, topik yang dipelajari akan lebih mudah diserap anak.
Selain itu, anak juga tak langsung dihadapkan pada materi pelajaran di kelas. Meareka sebelumnya diberi waktu bermain dan bereksplorasi di halaman sekolah atau istilahnya dilakukan zero mind. Bagaimanapun, hasrat anak bereksplorasi sangat besar. Jika hal itu idak dipuaskan atau disalurkan terlebih dahulu, bisa-bisa anak tak mampu tahan lama di kelas dan berkonsentrasi mengikuti pelajaran.
4. Ada sanksi.
Walaupun anak didik diberikan diberikan kebebasan seluasnya, orang tua tak perlu khawatir anaknya jadi kebal terhadap kepatuhan dan kedisiplinan. Sebab sekalipun terlihat bebas, sistem pendidikan alternatif juga menerapkan sanksi untuk anak didiknya. Bedanya dari yang konvensional, sanksi yang berlaku di sini dibuat atas kesepakatan bersama anak dengan guru. Ketika kesepakatan itu dilanggar, maka anak harus mau menanggung akibatnya.
l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar