Sungguh hati ini ingin mendendang bersama semburat kata dan ucapmu
Sungguh tiada tertahan lagi membiarkan semua gejolak yang mengiris pedas hati
Sungguh perumpama yang kian karam
Menelan ludah kepahitan, sepertinya
Terpenjara mahligai semu, mereka itu
Mahligai semu yang membungkam kemilau Qur’ani
Pembuta semua bahasa kejernihan hati
Pewarna kemaujudan ahklak surgawi, mereka penggal begitu rupa
Sesadar apakah semestinya
Sejauh mana benteng dibangun
Seberapa cerdas liku dilaku
Guna menghindar, menakar, menuai keselarasan dambaan
Meraba kedalaman hati
Guna memilik anugrah hati
Tidak diam
Dan
Mati
Ingatkah hari itu
Hari pertemuan terakhir itu
Hari ketika bersama membuka buku lusuh masa lalu
Hari ketika kita menyatukan dua tangan kita
Dibawah remang rembulan
Dibawah butir-butir salju yang mengkeras tangan-tangan kita.
Kala tak sudi lagi kau melihat wajahku seperti dulu-dulu
Kala tersibak semua penghianatanmu
Kala semua ucap pengingkaran, pelarian kau ucap begitu deras bak peluru
Masih ingatkah
Kau berlari menjauh dariku
Berteriak
Kau ingin mati kau ingin pergi
Membungkus semua derita sesiapa yang pernah kau lukai
Titik kala kau masih bersikukuh, cukup dengan memohon maaf semua akan selesai
Padahal ku ulang beribu, hati tidak seempuk tanah liat yang bisa diukir semau-mau
Hati bertumpuk misteri menyimpan berbagai surau diri-diri
Tidak semudah membalik tangan bergumul dengan hati
Masih ingatkah
Kala kau mengacuh para insan suci
Mendusta kebenaran nyata bawaan mereka
Kala kau
Menjunjung ego
Mengangkat pentingnya diri
Membunuh ungkapan firtrah senyata
Masih ingatkah kau……
28 12 08
Kuedarkan kemana lagi…
Aku diam tidak mengerti, mengapa?
Kutenteng penuh wibawa, walau begitu memaksa hati
Berlari diantara bangunan hidup
Diam berhenti, menilik
Berharap kan diberi ruang.
Ah…..
Gerah terik mentari
Basah keringat manusiawi
Lelah tumpuan beban
Terpaku kembali langkah ini
Menenteng proposal lusuh
Berlari dan terus berlari
Harus ikhtiar jangan sekedar berpatah arang
Mengedar pandang dan meredup sudah diri, bertabur haru
Yah…..
Langkah teruslah langkah
Tiada lobang untuk mematah hati
Dan berharap memang tidak dihadapan manusia
Tapi kepada Dia semestinya mendongak
tuk temanku….majulah pasti kau bisa…)
28 12 29
Tidaklah terlambat.
Semua masih hijau utuh menunggu tuai
Lekas….
Lekas kembang sayapmu
Sudah tertebar wahana
Masihkah membelenggu diri
Merantai kesungguhan yang dulu telah menghiasi
Sudah terukir tauhid dibilikmu
Hanyakah menghias semata?
Hanyakah dibenam dalam alam pikir, tauhid itu?
Berteriak pasti nantinya kalau kau begitu saja
Tidak terbang bersama tauhid yang telah kau dapati
Tidak mewujud sebagai ungkap sikap ketauhidan
Tidaklah cukup di simpan dalam pikirmu, tauhid itu
Tidaklah pantas hanya menghias lisan dalam kebahasaan
Tidakkah bijak menyatakan tauhid dalam keharusannya?
Semua adalah kuli-kuli tauhid
Hanya
Ada yang sadar dan menakar
Ada yang bisu menukik pilu
Ada yang bergetar dan terbang tinggi
Ada yang hanya diam
Membungkus rasa malu hati.
Disaat Kepergiannya Tiba
Mengurai sejarah dalam setiap jedanya membuat semua meng”ada”
Pemelintir setiap ucap akan didapat didalamnya
Demi bernafsu wanita
Bernafsu harta
Bernafsu dunia ketimpangan muncul begitu rancak.
Tintla-tinta tertumpah menyebar kata
Memutar balik dalam kepicikan tak tertepis
Demi dunia muncullah kerancuan bagi penapak
Demi dunia kebenaran tertumpang tindih membelalak rasa
Demi dunia pecundang itu menjilat kaki-kaki penguasa
Menggubah hadis dan ceritera sesuka-suka
Dengan apakah akan tersampai penapak pada kebenaran
Tidak hanya mengikut semestinya
Melebar cantang pikir
Merebahkan keegoan diri
Menggelar aqal seluas hati
Kepergian sang baginda tak jua dilepas indah
Diamuk prahara begitu rupa
Dan nyata dianggap merancu
Dianggap menggerutu
Sedang nyata dalam quran dia berbahasa hanya dengan wahyu
Wasiat agung hilang dan meranakan ummat
Pantaskah tindak itu dikata culas
Layakkah perbuatan itu dilaku calon pemimpin
Atau…..
Hanya dengan begitu ia bisa “memimpin”
Dan menghalal penipuan, pengelabuhan, penuduhan pada manusia berpribadi agung
Karena terlalu muliakah “insan” itu sehingga dicela begitu rupa
Ataukah karena apa, menuduh semau-maunya?
Dan para pemujanya menganggap biasa penilaian muka masam bagi sosok mulia penerima piagam ketuhanan “sesungguhnya padamu terdapat akhlak yang agung” ini
Alangkah naïf menilai perginya tanpa meninggal jalan jelas
Alangkah menyedihakan menuduh dia pergi seolah menghindar dari tanggungan
Betapa nista mennilai dia pergi tanpa ada kekhawatiran atas kelanjutan ummat.
Siapa haus kebenaran pasti dengan penuh nafsu meneliti
Mana sebenarnya
Bagaimana keharusan
Dimanakah kita berdiri dari simpang itu
Hanya kita yang tahu.
28 12 08
Diantara kilatan pedang terdengar parau suara
Diiring manusia bertaring mendongakkan berita
Dikepung bak binatang perginya
Dalam payah dan hilang daya pedang menyebat lehernya
Dengar ….
Hai dengar…
Tetap dia berupaya mengajak sadar kembali
Hai….dan suara itu menghilang ditengah suara tawa bangga
Hai….ajakan kedalam ajaran qurani tak lagi mampu diucap walau sejatinya ingin
Andai ada satu dari ribuan “bedebah” itu mau mengikut agama langit kembali, betapa…
Andai …namun semua menampak wajah binatang menyeringai terbuai janji penguasa dzalim
Menetes air liur demi tanah rey
Andai ada satu saja…..
Apalah arti kala ini menjadi penjilat kaki sesosok yazid pemilik laknat
Apalah arti diri kala masih tertipu layaknya penjilat seperti itu
Sejarah tidak hanya torehan
Sejarah adalah bingkisan penuh arti dan pelajaran
Sejarah mengarahkan pada jalan kebenaran
Sejarah membuka mata hati yang terbungkam
Akankah meninggalkan sejarah?
Sungguh bijak
Mengarti darah bayi yang mengalir ditangan ayahanda suci
Memakna jerit perih saudari dan peputri sang syahadaah
Mewarna hidup sebagai pijar semangat syahadah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar