Kamis, 14 April 2016
Sekolah Alam, Cukup Bayar Dengan Sayur
Artikelnoe --Banyuwangi: Pendidikan gratis dengan kualitas baik menjadi dambaan masyarakat. Maka beruntunglah warga Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana, berdiri sekolah alam bernama Banyuwangi Islamic School (BIS). Para murid membayar iuran sepekan sekali. Iurannya bukan dengan uang, melainkan dengan sayur-mayur. Sayur-mayur itu pun nantinya dikonsumsi oleh siswa BIS sendiri.
Sekolah alam ini berdiri sejak empat tahun silam. "Kita menampung anak-anak yang kurang mampu. Baru tahun ketiga ada anak mampu yang masuk ke sini," ucap Kepala Sekolah BIS, Muhammad Farid, di Banyuwangi, baru-baru ini.
Kelas BIS didirikan tanpa dinding atau sekat. Alhasil, bangunan yang terbuat dari bambu ini tampak menyatu dengan alam sekitar. Bahasa Inggris, Arab, dan Jepang menjadi bahasa percakapan sehari-hari murid dan pengajar.
Untuk dana operasional, sekolah ini mengandalkan sumbangan sejumlah donatur. Guru pun digaji relatif rendah. Namun kekurangan itu tak menjadi halangan bagi mereka untuk memberikan pendidikan berkualitas.
Mengenal Sekolah Alam di Indonesia
Bermain adalah hal yang paling disukai oleh anak dan menjadi fitrahnya. Beragam permainan menjadi pesona dan daya tarik anak, baik itu permainan yang dilakukan di dalam ruangan maupun diluar ruangan. Namun, pernahkah terbesit dalam benak dan pikiran Anda selaku orangtua untuk mengajak putra-putri bermain sambil belajar?.
Seperti bermain outbound,bercocok tanam,beternak,belajar mencuci baju, bermain sepakbola, menggambar bahkan berwiraswasta. Ada sekelompok anak yang sedang asyik bermain sepakbola, belajar mencuci baju, outbond. Walaupun tampak kotor, anak-anak terlihat senang. Mereka bukan hanya bermain saja, melainkan juga sedang bersekolah, sekolah alam tepatnya. Cara belajarnya pun berbeda dengan sekolah umum lainnya sesuai dengan namanya, anak-anak coba didekatkan dengan alam. Suasana dan sarana sekolah alam memang dirancang untuk menempa kecerdasan natural anak. Namun bukan mustahil sekolah biasa menjadikan anak didik juga mencintai lingkungan.
Apa Sih Sekolah Alam?
Semakin modernnya kota-kota besar, tak jarang banyak anak-anak zaman sekarang seolah asing dengan lingkungan alamnya sendiri. Misalnya saja nasi, mereka tahu nasi menjadi makanan pokok dan berasal dari padi, tapi mereka tak memahami bagaimana proses menanam padi, menuai hingga mengolahnya menjadi bulir-bulir beras sebelum kemudian ditanak menjadi nasi. Ironi memang, berangkat dari keprihatinan akan kondisi pengetahuan dan wawasan anak-anak tentang alam, kini banyak berbagai sarana baru ditawarkan sekolah-sekolah yang menamakan dirinya ’Sekolah Alam’. Sekolah semacam ini tak hanya dilengkapi laboratorium dan perangkat komputer, tapi sekolahnya sendiri ditata menjadi bagian dari alam terbuka, ruang-ruangnya terbuat dari saung daun kelapa dan ijuk. Pohon-pohon rindang dibiarkan tumbuh di hampir seluruh sudut sekolah, lengkap dengan berbagai sarana eksplorasi seperti rumah pohon, climbing, lapangan bola dan flying fox.
Menurut Efriyani Djuwita,M.Si seorang psikolog Perkembangan Anak dan staf pengajar Fakultas Psikologi UI, Sekolah alam adalah salah satu bentuk pendidikan alternatif yang menggunakan alam sebagai media utama sebagai pembelajaran siswa didiknya. Tidak seperti sekolah biasa yang lebih banyak menggunakan metode belajar mengajar di dalam kelas, para siswa belajar lebih banyak di alam terbuka. Di sekolah alam metode belajar mengajar lebih banyak menggunakan aktif atau action learning dimana anak belajar melalui pengalaman (red- dimana anak mengalami dan melakukan langsung) . Dengan mengalami langsung anak atau siswa diharapkan belajar dengan lebih bersemangat, tidak bosan, dan lebih aktif. Penggunaan alam sebagai media belajar menurut psikolog yang akrab disapa Ita ini diharapkan agar kelak anak atau siswa jadi lebih aware dengan lingkungannya dan tahu aplikasi dari pengetahuan yang dipelajari. Tidak hanya sebatas teori saja.Efriyani Djuwita,M.Si juga mengatakan bahwa bisa dibilang konsep sekolah alam adalah konsep belajar aktif, menyenangkan dengan menggunakan alam sebagai media langsung untuk belajar. Jika dibilang Sekolah Alam mengacu pada pendidikan montesorri mungkin tidak bisa dibilang mengacu seratus persen. Namun ada beberapa dasar-dasar metode pendidikan montesorri yang menurutnya, juga diterapkan dalam Sekolah Alam. Baik Montesorri dan Sekolah Alam berusaha menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, dimana atmosfer belajar tidak menegangkan, komunikasi antara guru dan siswa juga hangat dan juga mementingkan pada active learning dimana siswa tidak berfokus pada buku-buku pelajaran saja tapi mengalami langsung apa yang mereka pelajari, bisa lewat percobaan, observasi dan lain sebagainya. Hanya sekolah alam lebih memanfaatkan alam sebagai media untuk siswa belajar langsung, sementara dalam pendidikan montesorri, material yang digunakan bisa tidak disediakan di alam, namun bisa berupa material yang memang didesign khusus untuk membantu siswa belajar.
Kelebihan sekolah alam dibandingkan sekolah biasa, menurut psikolog yang mengambil S2 nya di UI ini, sekolah alam membuat anak tidak terpaku hanya pada teori saja. Namun mereka dapat mengalami langsung pengetahuan yang mereka pelajari di alam. Karena diakui saat ini sekolah-sekolah biasa lebih banyak menggunakan sistem belajar mengajar konvensional dimana guru menerangkan, siswa hanya mendapat pengetahuan dengan mengandalkan buku panduan saja, dan siswa jarang diberikan kesempatan untuk mengalami langsung atau melihat langsung bentuk pengetahuan yang mereka pelajari. Di sekolah alam, biasanya aturan yang diberlakukan tidak seketat sekolah biasa dimana siswa harus duduk mendengarkan gurunya atau mendapatkan hukuman jika tidak mengerjakan tugas.
Menurut Dasayoga Isbanu Jaya selaku ketua yayasan dan praktisi pengajar di sekolah alam Ciganjur, sekolah alam adalah sebuah impian yang jadi kenyataan bagi mereka yang mengangankan dan menginginkan perubahan dalam dunia pendidikan. Lebih lanjut Yoga menjelaskan bahwa yang diharapkan tidak sekedar perubahan sistem, metoda dan target pembelajaran melainkan paradigma pendidikan yang akan mengarah pada perbaikan mutu dan hasil dari pendidikan itu sendiri.Senada dengan Yoga, Hendra Setiawan selaku Management Kandank Jurank Doank juga mengamini bahwa sekolah alam dapat menjadi alternatif sekolah yang bisa membawa anak menjadi lebih kreatif, berani mengungkapkan keinginannya dan mengarahkan anak pada hal-hal yang positif.
Sistem Pendidikan Yang Beda
Di sekolah alam, jarang atau bahkan tidak menerapkan sistem pemberian PR (Pekerjaan Rumah),sebenarnya pada pendidikan konvensional (Sekolah biasa) pemberian PR asal proporsi dan tujuannya tepat dapat melatih anak juga untuk bertanggung jawab dengan tugas yang mereka miliki. Di sekolah alampun pengajaran tentang tanggung jawab dan disiplin diri diajarkan, misalnya saja dalam bentuk antrian baris saat akan mencuci tangan, bekerjasama dengan teman sebaya dalam mengerjakan tugas. Mungkin cara dan kegiatannya yang berbeda. Efriyani Djuwita,M.Si menjelaskan lebih lanjut mengenai sistem pendidikan sekolah alam yang banyak manfaatnya. Sekolah alam mengajarkan siswa belajar tidak hanya berdasarkan atau mengandalkan text book, tapi juga belajar aktif. Belajar dengan aktif dengan situasi, kondisi, komunikasi antara siswa dan guru yang menyenangkan tentunya diharapkan akan memberikan motivasi belajar yang besar untuk siswa dan menumbuhkan minat akan apa yang dipelajari. Situasi belajar yang menyenangkan, dukungan komunikasi yang hangat antara guru dan siswa memudahkan anak dalam beradaptasi dan memahami dirinya sendiri.
Kurikulum Dan Biaya Yang Beda
Jika berbicara tentang sekolah tak terlepas dari kurikulum yang ada dan ditetapkan pemerintah, berbeda dengan sekolah konvensional. Menurut Yoga, sekolah alam memiliki kurikulum yang berbeda, jikapun menggunakan kurikulum pendidikan biasanya dilakukan penyesuaian saja, hal senada juga dilontarkan Hendra. Menurutnya sekolah alam yang dirintis oleh Dik Doank bahkan tidak menggunakan kurikulum, sebab sekolah alamnya mengajarkan anak untuk menggali potensi dirinya tanpa harus menjadi beban sang anak dengan sekolahnya.
”Jika inti tujuan atau sasaran sesuai dengan kegiatan yang dilakukan, metode belajar aktif di alam ini akan banyak membantu siswa menyerap pelajaran atau proses pengajaran yang diberikan,”terang Ita. Dalam memberikan pendidikan bagi anak, orangtua biasanya akan memberikan yang terbaik buat putra-putrinya. Orang tua tak peduli dengan besarnya biaya pendidikan anak. Untuk sekolah alam biaya pendidikan jauh berbeda dengan sekolah konvensional pada umumnya. Untuk biaya pendidikan sekolah alam bagi anak perorangnya, orang tua harus merogoh kocek antara 300 ribu hingga 500 ribu rupiah. Namun, ada juga sekolah alam yang gratis seperti sekolah alam Kandank Jurank Doank, syaratnya siswa atau anak tidak boleh membuang sampah sembarangan dan mau mengisi formulir yang diberikan oleh pengelola.
sumber : adipura.wordpress.com
Mobil Listrik Karya Anak Indonesia
Dalam pameran yang digelar bersamaan dengan hari Teknologi Nasional pada Rabu (10/8) di Puspitek Serpong, Banten,anak bangsa menunjukkan hasil karyanya dengan menampilkan mobil sport listrik SKEV-1 (Signal Kustom Electric Vehicle 1). Kendaraan sport listrik ini dibuat atas kerja sama antara coachbuilder Signal Kustom, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),dan didukung oleh Auto Vision serta Alpine yang masingmasing memasok lampu dan perangkat audio multimedia.
Kehadiran SKEV-1 merupakan perwakilan salah satu karya teknologi bangsa Indonesia, di mana karya ini bisa disejajarkan dengan teknologi buatan bangsa lain.SKEV-1 diharapkan bisa memacu inovasi dan kreativitas anak bangsa lainnya untuk menjadi pionir teknologi. Meski baru konsep,mobil ini terbilang hebat untuk urusan in car entertainment.
Banyaknya perangkat audio berdaya besar diusung SKEV- 1.Selidik punya selidik,menurut Andre Mulyadi dari Signal Kustom Bandung,SKEV-1 awalnya diciptakan untuk ikut ajang kontes modifikasi Autoblackthrough 2010.
Oleh karena itu,kendaraan tersebut dibuat seatraktif mungkin lewat kehadiran 4 buah subwoofer10 inci,4 speaker 6 inci berikut tweeter nya, dan 3 unit powerplus 7 layar LCD touchscreen yang seluruhnya dipasok oleh PT Multi Mayaka dengan produk Alpine.
Sementara untuk sistem pencahayaan,Andre menyerahkan kepada produk Auto- Vision. “Cuma AutoVision yang memiliki LED dengan formasi berderet.Dan kami memerlukannya untuk mendukung kesan high-tech yang menjadi tema desain SKEV-1,” ujar Andre.
“Kami juga memanfaatkan produk AutoVision pada headlamp model HID projector dan lampu rem LED.Selain tiga kali lebih terang dan berkesan hightech, penggunaan lampu LED juga bertujuan mengurangi beban baterai,”ujar Andre.
Menurut Andre,SKEV-1 dirancang dan dibangun oleh tim desainer Signal Kustom, mulai dari sasis sistem suspensi hingga bagian bodinya yang terbuat dari perpaduan logam, serat kaca,dan serat karbon. “Bisa dibilang,95% kita membuatnya sendiri,”ujar dia.
Andre mengadakan kerja sama dengan LIPI karena menginginkan mobil ini tidak menggunakan mesin konvensional. Andre pun pergi ke LIPI untuk mengutarakan maksudnya. Awalnya,Kepala Bidang Peralatan Transportasi di Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI Ir Abdul Hapid yang ditemuinya ketika itu menolak.
Namun setelah Andre menjelaskan dan menyodorkan rancangan SKEV-1, Hapid pun bersedia membantu. Maka,jadilah mobil sport yang terinspirasi dari bentuk mobil Formula 1 dan mobil balap ketahanan 24 Jam LeMans ini memiliki sistem penggerak listrik yang pembuatannya digarap oleh tim dari LIPI.
Abdul Hapid mengatakan bahwa SKEV-1 dibekali dengan baterai lithium-ion generasi terbaru dengan kepadatan energi (energy density) yang tinggi.Baterai bertegangan 96 volt berkapasitas 200 Ah ini hanya butuh 4 jam pengisian agar kembali penuh dari kondisi 30%.
Bahkan jika menggunakan sistem pengisian cepat (rapid charger), kendaraan berbobot sekitar 700–800 kg ini hanya butuh 15 sampai 20 menit hingga baterainya penuh terisi. “Masalahnya,untuk membuat perangkat itu membutuhkan biaya dan daya listrik yang besar,yaitu sekitar 100 amper.Jadi,saat ini menggunakan sumber kelistrikan rumah 220 volt dengan daya 42 amper untuk mengisinya,”tutur Hapid.
Dengan motor listrik AC berkekuatan 60 hp,SKEV-1 diperkirakan mampu menempuh jarak 140–150 km sekali isi,namun belum pernah dicoba berapa kecepatan puncaknya.Menurut perkiraan Hapid,SKEV-1 bisa dipacu lebih dari 140 km/jam.
Tampilan kendaraan yang berkesan streamlinedan futuristik ini kian sempurna berkat penggunaan ban-ban high performancelansiran Pirelli.
Kehidupan Angkat Besi Indonesia
sumber gambar: Kompas
Inilah jalan panjang seleksi alam untuk mencari bibit atlet angkat besi.
Sore itu, awal Desember 2015 lalu, matahari memancarkan semburat keemasan menyepuh langit Pringsewu, Lampung. Hari yang cerah selaras dengan keceriaan anak-anak berusia 10-12 tahun yang tengah berlatih di padepokan angkat besi Gajah Lampung.
Padepokan itu telah berusia 48 tahun. Siapa pun boleh datang karena padepokan sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin berlatih angkat besi. Mereka yang datang selalu diterima dengan tangan terbuka.
Inilah yang membuat anak-anak itu nyaman bermain barbel bersama atlet-atlet profesional. Keriuhan anak-anak itu menghidupkan padepokan.
Tawa, canda, dan obrolan khas anak-anak berbaur dengan denting barbel yang beradu dan suara barbel yang mendarat di atas papan kayu. Siapa pun yang mencoba untuk beristirahat siang itu pasti gagal total. Suara brak dan bruk hingga lengkingan Kebisingan itu menjadi warna tempat lifter Indonesia menempa kemampuan untuk tampil di pentas angkat besi dunia. Padepokan ini telah mempersembahkan berbagai medali, termasuk perunggu Olimpiade Sydney 2000 yang diraih oleh lifter putri Sri Indriyani dan Winarni.
Prestasi itu diraih melalui proses panjang seperti yang sedang dirintis oleh sekitar 20-an anak usia sekolah dasar kelas 4, 5, 6 yang sering datang ke padepokan. Mereka disambut oleh asisten pelatih Misdan Yunip yang dengan sabar memperagakan gerakan snatch dan clean and jerk. Dua gerakan itu wajib dikuasai untuk menjadi lifter profesional. Anak-anak itu bergiliran mencoba gerakan yang dicontohkan oleh Misdan, mantan lifter. Mereka hanya mengangkat tongkat tanpa beban barbel. Ucok, panggilan akrab Misdan, membimbing anak-anak itu. Dia telaten memperbaiki posisi kaki, tangan, dan lekuk pinggang yang masih berantakan. Begitu berulang-ulang.
“Anak-anak SD ini datang ke padepokan ini setelah kejuaraan nasional PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan pelakar) akhir November 2015 lalu. Mereka rata-rata menyatakan tertarik dengan angkat besi. Tertarik untuk bisa dikenal dan bisa jalan-jalan,” ujar Ucok. Namun, jalan menjadi lifter tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Usia SD kelas 4, 5, 6 memang menjadi awal yang bagus untuk membentuk seseorang menjadi lifter. “Saat mencoba mendapatkan materi baru, kami akan memperagakan gerakan-gerakan angkat besi supaya anak-anak itu juga mau mencoba,” ujar Ucok.
Saat para siswa SD bergantian belajar membuat gerakan dan mengangkat beban, tim pencari bakat dari Padepokan Gajah Lampung akan memperhatikan tungkai dan kestabilan gerakan. Begitu juga saat mereka mulai mengangkat beban, tim pemantau mencermati tenaga alam anak-anak itu.
“Begitu seorang anak memenuhi syarat-syarat itu, harus segera diambil dan ditawari berlatih dan tinggal di padepokan,” ujar pelatih angkat besi sekaligus mantan lifter, Eddy Santoso.
Namun, Eddy juga tidak mau terburu-buru. Jika ada anak yang potensial, Eddy akan menyelami motivasi anak itu melalui obrolan ringan.
Dia ingin memastikan anak itu tidak patah di tengah jalan karena proses panjang ini membutuhkan niat besar dari si anak, termasuk dorongan orangtua.
Eddy pernah memiliki atlet muda berbakat yang cepat menguasai teknik dan memiliki tenaga besar. Namun, anak itu sebenarnya tidak suka angkat besi dan hanya mengikuti perintah orangtuanya. Dia kini tidak pernah lagi berlatih, padahal Eddy melihat masa depan cerah menanti anak itu.
Faktor terbesar ada pada niat anak itu sendiri. Karena itulah, di awal saya biarkan saja mereka berlatih. Nanti akan ada seleksi alam, biasanya sepekan sudah mrotholi (berguguran), tidak datang latihan.
Mereka yang bertahan 2-3 bulan latihan angkat besi, diarahkan oleh Eddy ke angkat berat. Ini untuk mengetahui ketekunan mereka. Angkat berat memiliki pamor sedikit di bawah angkat besi. Jika mereka melewati ujian ketekunan itu, Eddy akan langsung menangani anak-anak itu dengan program yang terukur. Ini dia lakukan pada Fina, lifter putri yang awalnya datang sendiri ke padepokan. Dia rajin berlaih selama tiga bulan. Fina cepat menguasai treknik angkatan dan memiliki tenaga besar.
Mencari bibit angkat besi bukan pekerjaan mudah.
Empat tahun lalu, Eddy memimpin tim padepokan bergerilya di sekitar Lampung. Upaya selama tiga hari dengan menyeleksi hampir 1.500-an anak di Kalianda, Lampung Selatan, itu hanya membuahkan hasil lima potensi baru.
Mereka dibina di Padepokan Gajah Lampung. Namun, jarak sejauh 150-an km yang membentang antara Kalianda dan Pringsewu menjadi halangan serius.
“Saat anak-anak itu pamit untuk liburan, kami mengizinkan. Ternyata mereka tidak kembali lagi ke Pringsewu,” ujar Eddy.
Akhirnya, Eddy menyadari bahwa sejauh atau sekeras apapun untuk mendapatkan materi, jika itu tidak berasal dari niat si anak, tidak akan berhasil. Ini seleksi alam. Lifter Okta Dwi Pramita, misalnya, menjadi salah satu atlet hasil dari seleksi alam itu. Pada tahun 2000, lifter putri asal Wonosobo, Lampung, yang saat itu masih duduk di bangku SMP hanya ikut-ikut temannya berlatih di Pringsewu.
Lambat laun, ia jatuh cinta pada cabang yang sangat menuntut tenaga, kekuatan, dan kecepatan itu.
Semula ikut-ikutan teman, kemudian saya suka. Jadilah saya menekuni olahraga ini.
Cinta Okta pada angkat besi bisa menginspirasi puluhan anak SD yang mulai berlatih di padepokan Gajah Lampung.
Ketekunan dan perjuangan para atlet senior untuk meraih prestasi bisa menumbuhkan motivasi menjadi Herkules bagi mereka yang awalnya ikut-ikutan teman atau disuruh orangtua.
“Sekali lagi, tidak mudah mendapatkan lifter. Kita lihat saja perkembangan anak-anak ini dalam beberapa waktu ke depan,” ujar Eddy.
Adelia Prasasti (12) menatap barbel berbobot 45 kg yang ada di hadapannya. Sejenak ia bersiap melakukan angkatan ketiga clean and jerk.
Tangannya mencengkram batang barbel dan dalam satu tarikan napas, lifter putri termungil di kelas 36 kg itu mengangkat barbel dan menahannya di dada.
Sedetik kemudian, dengan satu entakan, barbel itu ia angkat tinggi-tinggi di atas kepala dan ia tahan selama 10 detik. Keringat mengalir di tubuhnya yang susah payang menopang berat barbel.
Wasit menyatakan, angkatan clean and jerk Adelia sah. Gemuruh tepuk tangan dari pelatih, teman, dan penonton pertandingan pun pecah.
Angkatannya itu membawa Adelia menjadi juara pertama Kejuaraan Angkat Besi Antar-pelajar yang digelar di Padepokan Gajah Lampung, Pringsewu, Provinsi Lampung, akhir 2015 lalu.
Ia total mengangkat 76 kg, 31 kg dari snacth dan 45 clean and jerk. Tiga medali emas dan gelar sebagai lifter terbaik kejuaraan ia rebut sekaligus. Keberhasilan Adelia mengangkat barbel 45 kg tampak muskil buat orang awam. Bayangkan, dengan berat badan hanya 24 kg, ia bisa mengangkat beban 45 kg atau nyaris dua kali lipat dari berat tubuhnya.
Tapi begitulah hasil dari ketekunannya berlatih angkat besi sejak ia duduk di kelas III SD di Padepokan Gajah Lampung yang telah melahirkan puluhan lifter hebat, seperti Sri Indriyani dan Winarni (peraih perunggu Olimpiade Sydney tahun 2000), Supeni (peraih perak Asian Games), Ponco Ambarwati, dan Jadi Setiadi (peraih perunggu Asian Games). Beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin Adelia mengikuti jejak para lifter Gajah Lampung menjadi juara di mana-mana. Apalagi, ia memiliki motivasi besar, yakni mengangkat martabat keluarga lewat angkat besi.
Ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan selalu berpesan agar Adelia bisa menjadi orang sukses. Ibunya yang hanya lulusan sekolah menengah atas pun ingin Adelia punya gelar sarjana. Adelia yang masih belia tahu bahwa pesan orangtuanya itu bisa ia wujudkan lewat angkat besi.
Saat ini, setidaknya ia sudah bisa membiayai sendiri sekolahnya. Ia membeli peralatan sekolah, seperti buku, dari uang pembinaan Padepokan Gajah Lampung.
Saya ingin sukses seperti atlet senior di sini. Mereka bisa membantu keluarga dan keliling dunia.
Nasib yang berbeda dialami Joneri Pandia (11). Jon, sapaan Joneri, kehilangan kepercayaan diri begitu kakinya melangkah ke panggung. Penonton yang membeludak meruntuhkan mental siswa kelas V SD 3 Podomoro, Pringsewu, Lampung itu. Barbel 37 kg, yang biasa dia angkat saat latihan, terasa jauh lebih berat. Dia hanya bisa mengangkat barbel 32 kg untuk angkatan snatch.
Jika Jon bisa mengalahkan rasa takut di atas panggung, lifter cilik ini bisa meraih emas dengan angkatan 37 kg.
Jon akhirnya meraih perunggu di kelas ekshibisi 38 kg dalam kejuaraan nasional angkat besi antar-Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) pada akhir 2015 lalu.
Jon merasakan ujian terberat untuk menjadi atlet angkat besi profesional, yaitu harus mengalahkan diri sendiri.
Mental harus kuat karena kekuatan fisik dan teknik matang tidak cukup untuk membawa pulang medali emas. Dia memetik pelajaran berharga.
Dia belum memiliki mental juara, padahal lomba itu digelar di rumahnya sendiri, Padepokan Gajah Lampung, Pringsewu.
Ini lomba pertama saya, rasanya grogi karena dilihat banyak orang.
Jon mulai menekuni angkat besi saat bulan puasa, Juni 2015. Dia berkembang pesat bersama teman seumurannya, Dedi Kurniawan. Dua atlet cilik itu menjadi pasangan saat latihan. Mereka berlatih mengejar angkatan 60 kg untuk clean and jerk dan 45 kg untuk snatch.
Itu target panjang karena Jon dan Dedi kini baru di level 40 kg. Mereka sebenarnya sudah bernafsu ingin naik ke 42 kg.
Namun, pelatih Eddy Santoso tidak mau terburu-buru. Eddy, mantan lifter, ingin fisik dan mental dua jagoan ciliknya lebih matang. Eddy ingin melihat seberapa besar keinginan mereka untuk menggapai mimpi menjadi olimpian. Jon mengidolakan lifter senior, Jadi Setiadi, yang meraih peringkat kelima di kelas 56 kg Olimpiade London 2012. Itu mimpi besar yang dia pupuk di Padepokan Gajah Lampung.
Jon dan atlet-atlet cilik lain harus melalui ujian panjang ketekunan dan disiplin. Pelajaran mental itu dijalani setiap hari sebelum matahari terbit hingga menjelang tidur di padepokan milik mantan lifter dunia, Imron Rosadi.
Padepokan angkat besi yang telah berusia 48 tahun itu sudah menggeliat sebelum azan subuh.
Denting logam dari barbel yang beradu dan gedebuk barbel yang dijatuhkan di atas papan kayu memecah keheningan di pagi hari. Sekitar 20 lifter yang tinggal di padepokan sibuk menyiapkan alat untuk latihan pagi. Ritual yang sama dilakukan menjelang sore hari. ”Ya, memang begini yang diajarkan Pak Imron kepada kami saat awal-awal kami masuk padepokan,” ujar Doni (25), salah satu lifter angkat berat. Masuk dan bergabung di Padepokan Gajah Lampung yang didirikan dan dikelola Imron bersama keluarganya bukan hal mudah. Ada syarat penting yang mesti dipenuhi.
Para lifter dan calon lifter harus menunjukkan kemampuan dan potensi di cabang angkat besi, serta tekad untuk berlatih dan disiplin.
Lifter peraih emas SEA Games Okta Dwi Pramita mengatakan, kegiatan beres-beres di pagi, siang, atau petang seusai dengan latihan, serta dua kali dalam seminggu beres-beres besar, menjadi cara Imron mengajarkan tanggung jawab, disiplin, kebersihan, kerapian, serta rasa memiliki terhadap padepokan. Apalagi padepokan ini juga menjadi rumah bagi para lifter.
Pak Imron juga terus menanamkan sikap rendah hati. Kalau dapat medali, memenangi satu kejuaraan tidak boleh jumawa, harus tetap bersyukur. Terus, tidak boleh boros, harus menabung dan hemat. Persis seperti Dasa Dharma Pramuka itu, Mbak.
Ada alasan kuat mengapa Imron menanamkan semua nilai itu kepada lifter dan calon lifter.
Itu semua demi masa depan mereka. Padepokan ini adalah rumah dan tempat mereka meraih mimpi.
Di padepokan yang saat ini menempati area seluas 2.600 meter persegi itu, lifter-lifter usia pemula, remaja, yunior, dan senior potensial dari keluarga kurang mampu tinggal dan berlatih. Mereka ditemukan sejak usia remaja oleh tim pemantau bakat dari padepokan.
”Ya, memang jauh dari rumah, tetapi ibuku sudah meninggalkanku. Aku tinggal bersama simbah (nenek), bapak, juga mbak,” ujar Dedi Kurniawan, salah satu lifter remaja yang bergabung di padepokan dalam dua tahun terakhir.
Si mungil Dedi, dalam dua tahun terakhir, menunjukkan kemajuan, khususnya dalam teknik. Lifter kelas V SD Fajar Esuk, Pringsewu, yang berbobot 25 kg ini mampu mengangkat beban 40-an kg. Cara dia mengangkat beban pun terlihat luwes. ”Kalau aku, mauku berlatih terus sampai berhasil,” ujarnya. Tidak hanya Dedi, lifter remaja putri Purwanti juga bertekad sama. Kakak kandung Dedi ini menuturkan, ia seperti mendapat jalan keluar untuk meraih masa depannya. ”Kalau di rumah, paling ngapain. Ya, di rumah saja sama simbah. Tidak bisa jalan-jalan dan melihat kota lain,” ujar Purwanti.
Karena mengikuti ajakan teman untuk latihan angkat besi, Purwanti pun menjadi lifter remaja berprestasi. Tempaan pelatih Eddy dan asisten pelatih Misdan ”Ucok” Yanip membuat Purwanti merebut emas kelas 44 kg di beberapa kejuaraan nasional dan internasional.
Saya sekarang punya pengalaman jalan-jalan ke daerah atau negara lain. Saya juga punya prestasi. Kalau saya cuma di rumah, saya tidak ke mana-mana, juga tidak punya prestasi.
Lifter muda Puryadi, yang biasa dipanggil Adi, tertarik dengan angkat besi karena cerita-cerita sukses dari para lifter senior.
Mulai berlatih sejak dua tahun lalu, Adi, siswa kelas VI SD Podomoro, Pringsewu, menuturkan, menjadi lifter itu asyik. ”Bisa pergi ke kota lain untuk ikut kejuaraan. Terus bisa punya uang saku,” tutur Adi, yang di kejuaraan PPLP November 2015 merebut emas kelas 42 kg.
Adi mendapat dukungan penuh dari ayahnya yang seorang satpam dan ibunya yang pedagang sayuran. Bahkan, dari uang saku bulanan sebagai lifter remaja PPLP, Adi bisa membantu orangtuanya.
Bagi Imron, padepokan yang ia dirikan bukan sekadar padepokan untuk berlatih angkat besi, melainkan juga untuk melatih hidup. Lifter dari usia sekolah dasar sudah diajari bertanggung jawab akan hidup dan menegakkan jalan masa depan. Sebagai pengelola, bapak, juga pelatih bagi para lifter, Imron tidak hanya melatih. Tiap lifter potensial diberi uang saku bulanan.
Jika mereka berprestasi di kejuaraan, bonus yang didapat akan disimpan Imron. Bonus itu diubah menjadi tabungan atas nama lifter bersangkutan. Dari deposito itulah, para lifter bisa membeli tanah atau sawah.”Kalau tidak begitu caranya, walah, bisa habis itu bonus-bonus,” ujar Imron.
Dengan pengelolaan itu, Imron bertekad membantu sesama, mengangkat harkat sesama yang kurang beruntung, sekaligus bisa mengangkat harkat bangsa jika sang lifter berhasil memenangkan berbagai kompetisi. Banyak anak dari keluarga berbagai kalangan datang ke padepokan itu.
Sumber : Kompas
Langganan:
Postingan (Atom)